Oleh Tb. Moh. Sholeh
Saat Presiden pertama RI Bung Karno masih memimpin Indonesia, pernah terjadi satu peristiwa heroik yang membuat mata dunia terbelalak. Tepatnya di tahun 1962, ketika itu Indonesia menjadi tuan rumah pesta olahraga antarnegara Asia (ASIAN Games ke-4).
Kota Jakarta terpilih sebagai penyelenggara Asian Games yang diikuti seluruh negara di benua Asia, namun Bung Karno menolak kehadiran kontingen Israel. Indonesia terpaksa harus menghadapi konsekuensi dari Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang menarik diri sebagai pelindung kegiatan AG IV.
Puncak dari perlawanan Bung Karno adalah kemudian Indonesia pun balas menarik diri dari anggota IOC setahun kemudian. Tapi, Bung Karno bergeming meski konsekuensi besar juga akan dihadapi. Ia tahu bahwa keputusan itu tepat dan terbaik untuk bangsa Indonesia. Menolak kehadiran negara Israel sudah sesuai dengan konstitusi Indonesia.
Bukan hanya itu, sebelum penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962, di tahun 1957 Presiden Soekarno juga membuat “ulah” ketika kesebelasan timnas PSSI bermain di zona Asia dan tinggal menghadapi Israel untuk dapat lolos ke Piala Dunia.
Indonesia secara tegas menolak untuk bermain lawan Israel, baik saat main di Jakarta ataupun di Tel Aviv. Indonesia hanya mau bermain di tempat netral, tanpa lagu kebangsaan. Tapi lagi-lagi persatuan sepak bola dunia (FIFA) menolak usul RI, sehingga Indonesia dinyatakan WO dan gagal ke Piala Dunia 1958.
Kedua kisah itu sebenarnya cukup membuat satu simpulan tegas dan lugas dari sebuah paragraf perihal Israel ini. Bahwa, bangsa Indonesia akan tetap berkomitmen menjaga nilai-nilai luhur kemanusiaan dan konsisten mengawal amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, alinea pertama : “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Israel, siapa yang tak mengenal bangsa ini. Israel adalah cerminan perilaku agresor, menganeksasi, mencaplok dan mengambil tanah dari sebuah bangsa dan negara yang berdaulat, yaitu Palestina. Israel yang menjadi sebuah negara atas dasar pengakuan sepihak, merupakan role model paling tepat dan contoh terbaik aksi agresi militer atau penjajahan di era modern.
Tepat tahun ini, tak lama lagi Indonesia kembali dipercaya menjadi tuan rumah satu perhelatan besar olahraga dunia. Even resmi FIFA bertajuk Kejuaraan Piala Dunia junior (U-20) akan diselenggarakan mulai tanggal 20 Mei-11 Juni 2023.
Lagi-lagi kisah lama seperti zaman Bung Karno kembali menyeruak. Israel muncul dan datang lagi sebagai tajuk utamanya. Dalam ajang empat tahunan itu, pro kontra kemudian timbul di tengah masyarakat, karena Israel lolos dan menjadi salah satu peserta. Bagaimanakah sikap kita?
Hingga tulisan ini dibuat, belum ada rencana Pemerintah Indonesia untuk menolak kedatangan Israel. Meski berbagai suara keras penolakan muncul dari berbagai kalangan dan kelompok, tampaknya pemerintah kita saat ini tidak akan mengulangi keputusan proklamator Bung Karno di masa lalu.
Agaknya, menolak timnas sepakbola Israel datang ke Indonesia sulit diwujudkan jika melihat arah angin yang senantiasa dilakukan pemerintahan sekarang. Tapi, kita tetap tunggu bagaimana langkah yang akan diambil pemerintah.
Namun, sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, suara penolakan atas kehadiran bangsa Israel di bumi nusantara juga tak boleh padam. Penulis menilai sangat tepat dan pantas jika kedatangan timnas Israel di Pala Dunia U-20 kita tolak. Setidaknya ada beberapa alasan di samping alasan historis yang sudah pernah dilakukan pendiri bangsa kita Soekarno dulu saat berani menolak Israel.
Pertama, Indonesia sebagai tuan rumah perhelatan sepakbola ini punya satu konstitusi yang jelas. Pembukaan konstitusi negara kita secara tegas menolak segala bentuk penjajahan. Israel, di mata hukum positif dan juga mayoritas kultur budaya Indonesia, merupakan sebuah negara yang tidak diakui oleh bangsa Indonesia.
Israel adalah bangsa penindas dan penerus apartheid, yang telah nyata kebiadaban atau kezalimannya terhadap rakyat Palestina. Maka, FIFA tidak berhak mengubah aturan yang sudah baku pada satu negara. FIFA harus menghormati mayoritas masyarakat Indonesia yang cinta damai dan membenci penjajahan.
Kita tahu selama ini setiap digelarnya Piala Dunia, FIFA meminta agar semua pihak khususnya para suporter bisa menghargai budaya ataupun aturan-aturan lainnya yang ada di negara penyelenggara. Piala Dunia 2022 di Qatar menjadi contoh betapa FIFA mendukung aturan yang menyelaraskan dengan budaya serta kearifan lokal.
Dilarangnya alkohol, sex dan LGBT di Qatar, menunjukkan FIFA menghormati nilai-nilai lokal. Dengan demikian, mestinya di Indonesia FIFA juga tak dapat menolak gelombang penolakan Israel dari masyarakat tanah air.
Kedua, masyarakat kita terkenal memiliki rasa dan jiwa solidaritas begitu tinggi. Ketika ada sebagian manusia mengalami sebuah kemalangan ataupun berupa musibah, baik dialami sesama anak bangsa ataupun berbeda negara, baik satu suku atau berlainan suku dan ras, masyarakat Indonesia sangat memiliki rasa solider yang adiluhung. Tak segan-segan kita akan membantu kesulitan sesamanya, dengan mengulurkan berbagai bentuk donasi dan bantuan. Minimal kita juga merasakan duka dan nestapa yang sama.
Inilah yang terjadi pada saudara-saudara kita di Palestina. Betapa menjamurnya bantuan yang telah diberikan rakyat Indonesia untuk Palestina.
Hal ini menunjukkan betapa kita terbukti sebagai bangsa yang mengasihi sesama, berdiri di atas golongan yang lemah, dan wujud dari kesetiakawanan sosial. Maka sekali lagi, penolakan kedatangan timnas sepakbola Israel ke Indonesia merupakan bagian dari jatidiri bangsa.
Dan ketiga, meski sepakbola acapkali disosialisasikan sebagai ajang olahraga yang harus dipisahkan dengan politik, tapi kenyataannya 'jauh panggang dari api'. Apa yang dialami oleh Rusia yang dihukum dan diboikot oleh FIFA karena dianggap menyerang Ukraina, merupakan satu penggalan kisah non fiksi yang faktual dan nyata : Standar ganda!
Ya, mereka yang sekarang sedang menguasai dunia, mereka yang merasa menjadi polisi dunia, mereka negara dan bangsa yang merasa superior, dapat melakukan apa saja untuk kepentingan mereka sendiri.
Sudah saatnya kita, bangsa Indonesia harus berdiri pada kaki sendiri, komitmen melaksanakan amanah konstitusi dan jangan terus menerus mau diperalat kepentingan barat.
Hegemoni barat harus dapat kita lawan sedapat mungkin, minimal suara rakyat yang lantang terus muncul di tengah gagu dan kakunya pemimpin-pemimpin bangsa untuk bersikap tegas.
Mereka, orang-orang Israel itu bukanlah pemilik negeri Palestina yang sekarang dikuasainya. Kaum Zionis telah melakukan berbagai tindakan yang manipulatif, di tengah penjajahan fisik yang juga kerap mereka pertontonkan hingga banyak sekali rakyat Palestina yang terbunuh dan menjadi korban kebiadaban Israel. Semakin banyak rakyat Palestina terusir dari negerinya dan luas negaranya pun habis dicaplok dan dipatok.
Seandainya kita mau sedikit merenung, bagaimana mungkin seseorang yang nyata-nyata telah didakwa sebagai seorang pencuri di rumah orang lain, lalu dia datang dan menghampiri rumah kita, justru kita persilakan dia melenggang masuk dan diberi fasilitas yang nyaman? Orang seperti apa kita ini? Wallahua’lam.
(Penulis adalah rakyat Indonesia, Kabid Humas DPD PKS Kab. Serang)