Header Ads Widget

Bukan Fisik, Tapi Mental

Foto: pixabay
Oleh: Khairul Ismi

Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Sinar matahari yang menerobos sela dedaunan dari pohon-pohon di hutan itu terasa hangat. Para peserta Pendidikan Dasar (Diksar) Survival itu tampak mulai kelelahan. Namun perjalanan menuju puncak Pulosari setinggi 1365 m dpl itu masih harus ditempuh sekitar 7 – 8 jam lagi. Medan pendakian yang dipilih panitia dan instruktur Diksar memang beda dengan jalur yang biasa ditapaki para pendaki. Lebih menantang dan menguji kesabaran para peserta. 

Pada sebuah jalur yang cukup curam, untuk kesekian kalinya banyak peserta Diksar yang terpaksa berhenti untuk sekedar mengatur nafas. Peluh pun membasahi tubuh-tubuh mereka yang sebagiannya sudah tidak muda, sementara bekal air minum yang didapat dari sebuah sungai yang tidak jauh dari lokasi Pos I sebelumnya sudah makin menipis.

Di saat itulah muncul para instruktur di belakang barisan peserta yang berhenti. Mendapati peserta yang menghalangi jalan, salah satu dari mereka mencoba menyemangati. “Ayo! Perjalanan masih jauh, kita harus bisa sampai di Pos penutupan jam 7 pagi besok!” terdengar teriakan lantangnya. 

“Antum semua bisa! Ini bukan masalah fisik, tapi masalah mental!” salah satu dari mereka menimpali dengan tidak kalah lantang, bahkan terkesan lebih garang. Ada raut kecewa di wajahnya melihat sebagian peserta Diksar yang katanya aljihadu sabiluna itu tapi kok malah seolah mudah menyerah.

Mendengar hentakkan tentang fisik dan mental itu, para peserta pun bangkit dan melanjutkan perjalanan. Singkat cerita, para peserta Diksar sampai di Pos penutupan sesuai dengan perkiraan instruktur, sekitar jam 7 pagi…

Begitulah, kami, para peserta Diksar kemudian menyadari bahwa pelatihan bertahan hidup di Gunung Pulosari itu bukanlah tentang melatih kemampuan fisik, melainkan mengasah kekuatan mental. Kekuatan yang dibutuhkan ketika menghadapi berbagai situasi, apakah itu menyenangkan atau sebaliknya.

Dengan kekuatan mental, menghadapi situasi apapun seseorang lebih mengedepankan sikap yang tenang sehingga kemudian mampu menghasilkan keputusan atau penyelesaian yang bijak. Hal yang memang tidak mudah untuk dipraktekkan namun harus diupayakan untuk bisa dilaksanakan.

Mental merupakan kata lain dari pikiran. Dapat juga dikatakan sebagai cara berpikir atau sudut pandang seseorang tentang suatu hal. Cara seseorang berpikir tersebut dipengaruhi oleh pengalaman, hasil belajar, dan tentu saja lingkungan. Sedangkan fisik adalah sebutan pada sesuatu benda yang berwujud yang bisa jadi terdefinisi oleh pikiran. 

Maka, teriakan sang intruktur Diksar yang mengingatkan bahwa pendakian ke puncak Pulosari bukanlah tentang masalah fisik melainkan mental, merupakan penegasan agar mengubah cara pandang. Perjalanan ke puncak Pulosari tanpa bekal dan perlengkapan memang sesuatu yang berat. Namun Para peserta Diksar harus mampu menghilangkan hambatan yang justru datangnya dari diri sendiri seperti perasaan takut, kurangnya rasa percaya diri, merasa tua sehingga fisik mudah lemah, dan sebagainya.

Dari pengalaman Diksar itu, diharapkan para peserta mempunyai mental yang lebih kuat. Sehingga dapat bersikap dengan baik di manapun posisi mereka. Di antara mereka ada yang menjadi atasan, maka mereka harus menyadari bahwa menjadi atasan hanyalah tentang fisik, sedangkan secara mental  adalah bagaimana menjadi pemimpin yang baik, pengayom, dan melayani bawahannya. 

Seorang atasan yang berjiwa pemimpin tidak sembarangan men-judge bawahannya dengan sebutan pembangkang misalnya, ketika sang bawahan bertanya sesuatu tentang kebijakan yang diambil. Mengayomi ketika bawahan curhat tentang kondisi ekonomi atau keluarganya tanpa memandangnya sebagai pribadi yang kurang bersyukur. Bahkan, melindungi kesalahan sang bawahan dengan tidak menegurnya di hadapan orang lain.

Pun demikian pula menjadi bawahan, itu hanyalah tentang fisik. Namun di dalam mentalnya ditanamkan bahwa ia sepatutnya menjadi jundi yang tsiqoh, ikhlas, dan taat kepada atasannya. Seorang jundi yang taat akan menerima dengan dada yang lapang keputusan yang dibuat sang atasan. Jikapun keberatan, maka ia mengkritisinya dengan santun sehingga tidak menjatuhkan wibawa atasannya.

Bersikap menjadi atasan atau bawahan dalam mengedepankan kualitas mental dibanding fisik hanyalah bagian kecil dari realitas kehidupan yang dihadapi sebagian kita. Lebih dari itu, setiap episode kehidupan yang dilalui membutuhkan kekuatan mental untuk menghadapinya. Seperti halnya menjalani masa pandemi Covid-19 saat ini.

Benar, bahwa taqdir seseorang apakah sakit atau sehat diatur oleh Maha Pengatur. Namun kemudian tidak serta merta menjadi pasif sehingga pasrah dan cuek dalam menghadapinya sehingga aturan menjaga protokol kesehatan dianggap angin lalu. Bahkan tanpa ilmu yang memadai kemudian berani menjustifikasi bahwa semua ini hanyalah sebuah rekayasa.

Demikian sebaliknya, tidak terjebak dengan pikiran yang sempit hingga kemudian tidak melakukan aktifitas apapun karena paranoid yang berlebihan. Lalu berandai-andai bahwa semua ini seharusnya tidak terjadi.

Sedianya, dengan mental yang kuat, keadaan pandemi ini dilalui dan dihadapi dengan tenang. Yakin bahwa pertolongan Allah bagi hamba-Nya yang berserah diri tidak pernah putus. Tetapi juga tidak menganggap remeh dan tetap waspada serta berusaha menghindar dari kemungkinan tertular. Oleh karenanya, aktifitas yang dijalani boleh jadi tidak banyak perubahan. Jika dimasa sebelum pandemi berupaya untuk selalu disiplin, antusias, kreatif, dan adaptif, maka hal itu akan tetap dilakukan dimasa pandemi ini, bahkan lebih meningkat lagi.

Wallahu a’lam

Penulis adalah Alumni Latihan Pandu Keadilan Menengah (LKPM) se-Banten Barat, 20-22 Maret 2015, Gunung Pulosari-Pandeglang, Banten. Saat ini, aktif sebagai pendidik di SMPIT Al Masykar Bina Insani, Serang.