(Untukmu para pencari cinta)
Cerpen : Bagoes M.S
Belum
pernah kurasakan, perasaan yang menggelayutiku seperti sekarang ini. Perasaan yang
sama sekali tak kuduga dan kusangka sebelumnya. Rasa haru dan duka di dada,
namun tak sedikitpun aku terluka dan kecewa. Pun perasaan bahagia berbaur
dengan kelegaan teramat, tapi tak sebersit senyum melebar dari bibir ini. Entah
bagaimana lagi mengungkapkan, atau dengan bahasa seperti apa lagi harus
kukemukakan, semenit lalu saat aku memutuskan untuk meninggalkannya, aku
mengira rasa sakit dan kecewa bakal mencuat di ubun-ubun hati. Namun, itu
tidaklah terjadi.
Ya,
tepat semenit lalu saat aku mengambil keputusan yang sangat besar dalam riwayat
hidupku, perasaan itu kini hinggap di hatiku.
“Aku mengerti akan sikapmu. Aku sama
sekali tak kecewa dengan keputusanmu. Bagiku, ini adalah pilihan terbaikmu yang
harus aku hormati,” begitu bijak ia bersikap membuat aku iri dengan kebesaran
hatinya. Bola matanya yang sempat kutebak akan memuncratkan airmata dan mewangikan
aroma senja, menjelma tatapan pagi yang bergulir begitu sejuk, menandakan ketegaran
diri yang luar biasa.
“Maafkan aku. Aku tak bisa memenuhi
janjiku untuk terus bersamamu. Semoga dengan keputusanku ini kita berdua
sanggup menembus tembok cinta sejati yang sangat diinginkan oleh para pencinta
sejati, seperti diriku ini,” lirihku kepadanya.
Pepohonan rindang dan bunga-bunga indah
yang seliweran di sekeliling taman, menjadi payung di tengah sengatan matahari yang
menghujam kampus kami siang itu. Hilir mudik mahasiswa ditemani tas gendong dan
buku-buku yang diapit sedekap tangannya, menjadi saksi mata, ketika beberapa diksi
kucibuk dari ember kata mengisi kolam
sajak dan kucipratkan ke relung hatinya.
Tidaklah
aku mencintaimu jika aku tak bercinta dengan pemilik cinta
Tidaklah
kita saling mencinta bila aku dan kamu terus bercinta
Maafkan
aku yang mabuk cinta,
Dan
maafkan cinta yang menjadikan aku pencinta.
Sajak sederhana tersebut kubuat, malam menjelang
pertemuan itu. Bila teman-teman kuliahku membaca sajak itu, mereka pasti terkekeh-kekeh melihat kesederhanaan
kata-kata di dalamnya. Maklum, aku yang kuliah di Jurusan Sastra, namun tak
begitu pandai merangkai kata-kata indah, serta tak mahir menggubah perasaan
menjadi sajak yang dahsyat. Di saat teman-teman kuliahku terbiasa mencipta
puisi yang bagus, berlomba-lomba untuk dimuat di koran-koran dan majalah, bahkan
ada yang sudah mampu menjadi Juara Lomba Cipta Puisi, diriku baru sebatas
sanggup mengkreasi puisi utuh sebanyak tiga buah. Itu pun biasa-biasa saja, tak
segemerlap puisi teman-teman dan tak mampu mengundang pujian dosen. Namun
demikian, aku berkeyakinan bahwa dengan untaian kata-kata sederhana tersebut,
kekhawatiranku pada dirinya sebelum pertemuan itu, takkan terjadi.
“
Dengan puisi ini ditambah munajatku di Qiyamullail, aku dan dia pasti bisa
melewatinya,” ungkapku dalam hati selepas menulis.
* * * * * * * * *
“Ukhti, kita adalah dua insan yang akan
terus bersatu dalam satu bingkai cinta. Cinta ini milik kita. Aku berjanji,
setelah lulus kuliah kulamar kau dengan cinta sebagai maharnya.”
“Aku
akan menantimu. Cinta yang berbungah di tubuh kita pasti sanggup melemahkan
sang waktu. Empat tahun, akan jadi tak berarti bagi kita.”
Cuplikan dialog ketika dulu aku dan dia “jadian”
saat baru mengikuti Ospek di kampus, mengiang. Padahal, waktu itu aku baru
mengenalnya dua bulan sejak bertemu pertama kali saat hendak mendaftar masuk di
kampus itu. Di kamar rumah selepas Shalat Dhuha, aku rebahan. Kupejamkan mata,
namun kenangan bersamanya terus melintas di pikiran. Padahal, sudah setahun
lebih semenjak pertemuan di taman itu berlangsung.
“Ya,
Allah lindungilah hamba yang lemah tak berdaya ini dari bisikan-bisikan
Syetan.”
Aku
berwudhu dan Shalat lagi dua raka’at.
Benar, Ummu Abiha, tak bisa kupungkiri
sampai saat ini masih menjadi rembulan di setiap malam-malamku. Meski aku telah
menemukan sang pemilik rembulan dan empunya malam, namun cintaku padanya yang dulu
kupahat dan bersemayam di dada, masih bercokol.
“Ya Allah, engkau Maha mengetahui segala
apa yang ada di hati. Aku masih mencintainya, tapi aku lebih mencintaimu, meski
aku tak tahu apakah cintaku tulus dan aku pun tak tahu apakah engkau membalas
cintaku. Wahai dzat yang menciptakan perasaan cinta, wahai dzat yang Maha
mencinta, engkau lebih mengetahui bagaimana keadaan hamba-Mu dan engkau lebih
mengetahui, apa yang terbaik bagi hamba,” pintaku dalam do’a. Dalam munajat,
aku terus melawan kicauan-kicauan burung kenangan yang menyanyikan lagu-lagu
kisahku bersamanya, dengan zikir dan tilawah Qur’an, mengetuk pintu cinta
teragung.
Nama yang indah itu memang tak bisa
kulupakan begitu saja. Dulu,
ia adalah penunjuk jalanku. Ia laksana ibu keduaku, seperti arti namanya yang
begitu dalam : “ibu dari bapaknya”. Abahnya yang memberikan nama. Begitu filosofis,
meski tak puitis.
“Abah ingin aku seperti Fatimah
Azzahra yang selain jadi anak sholehah, juga bisa berperan seperti seorang ibu
yang menyayangi anaknya. Rasulullah yang hanya sekejap mengecap kasih sayang
seorang ibu, menganggap anak kesayangannya itu seperti seorang ibunya. Ummu
Abiha, itu sebutan yang diberikan Rasulullah untuk Fatimah,” begitu ceritanya
mengisahkan sejarah namanya.
Selama kami berhubungan, belum
pernah sedikitpun aku menyentuh tangannya, apalagi lebih dari itu. Bagiku, ia
seorang gadis suci. Pernah suatu waktu aku mencoba meraih tangannya, melindungi
dirinya dari jalanan yang licin namun ia bersikeras menolak hingga dia
terjerembab jatuh ke tanah yang becek. Sudah jatuh begitu, dia tetap bersikukuh
tak mau ditarik oleh tanganku.
“Kalau kau masih menganggapku
seorang Muslimah, pinggirkan tanganmu! Lebih baik aku tertusuk jarum daripada
bersentuhan dengan seorang yang bukan mahram,” ketusnya waktu itu. Ia teramat
teguh memegang prinsipnya. Ia pula yang selalu mengingatkanku Shalat lima
waktu, menasehatiku untuk jangan sekali-kali meninggalkannya meski di tengah
kesibukan luar biasa.
* * * * * * * * *
Dari awal bertemu dengannya, aku sebenarnya
sudah langsung menyukainya. Yusuf Hubbi Muhammad nama lengkapnya. Ia mahasiswa
sekampus yang mengambil jurusan Hukum. Aku bertemu pertama kali dengannya di
daerah pedalaman ketika aku dan dia serta delapan belas mahasiswa lain dari
berbagai jurusan ditempatkan di sana dalam rangka KKN. Meski se-almamater,
namun aku belum pernah bertemu sebelumnya. Hubbi, panggilannya, anak asli Banten
meski kakeknya orang Melayu. Pembawaannya kalem,
gaya bicaranya tak dibuat-buat, rendah hati, jujur, dan yang paling kukagumi, dia
selalu menjaga pandangan mata. Dialah orang yang memberiku peta jalan cinta sesungguhnya.
Cinta yang sejati, cinta yang abadi, dan cinta yang akan membuat manusia menuju
kebahagiaan hakiki. Mungkin karena ia bernama Hubbi yang dalam Bahasa Arab bermakna
“cinta”.
“Kau
sampai sekarang masih berhubungan ya, sama kekasihmu itu? Wah, hebat. Tiga
tahun bukan waktu yang sedikit. Kenapa gak nikahi dia aja?” pertanyaan mendadak
dia lontarkan ketika aku selesai bertelepon ria dengan Ummu.
“Aku
belum siap. Nanti saja
kalo udah kerja, baru kulamar dia,” jawabku enteng. Aku berpikir, Hubbi hanya
memberikan pertanyaan tak serius.
“Awas
hati-hati., berbahaya. Iblis selalu mengintai setiap saat manusia yang longgar
agama. Meleng dikit, kecemplung!”
“Insya
Allah nggak. Aku masih punya Iman.”
“Hai, Muhammad Habibullah, jangan
main-main sama Iman. Dia bisa saja kabur, kalo penghuni rumahnya nggak ngeremin dia di kamarnya!”
Sontak aku terkejut dengan ucapannya yang
terakhir. Aku sedikit tersinggung dengan sikapnya itu, seolah-olah dia manusia
yang suci, sedang aku dianggapnya tak suci, lemah iman atau banyak dosa.
“Kayak udah jadi ustadz aja. Dasar munafik! “ umpatku dalam
hati.
Langsung kudatangi dia bersama kepalan tanganku
dan remasan jari-jarinya. Namun, baru kudekati, dia ngeloyor dari hadapanku. Padahal aku ingin mengajaknya bertarung
argumen, berdebat perihal iman. Aku ingin mengetes sejauh mana ilmu agamanya.
“ Dubraggg!!!”
Tiba-tiba suara benturan keras terdengar. Aku langsung menuju asal suara itu.
“Hubbi!!! Tolong…..teman-teman,
tolong!” aku berteriak sekuatnya.
Di luar kamar mandi, aku menyaksikan Hubbi tergeletak tak berdaya. Wajahnya pucat, sebercak darah terlihat di bibir tipisnya yang bergerak-gerak, terdengar berbisik menyebut-nyebut “Allah”. Kedua tangannya gemetaran bersama sebuah buku berwarna putih yang ia genggam di tangan kanannya. Aku coba melepaskan buku itu dari genggamannya. Sepintas kulihat buku itu, judulnya Taman Orang–Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu karangan Ibnu Qayyim Al Jauziyah.
Bumi Allah